Di Balik Bencana Banjir Berau, Petaka Tambang Batu Bara Hingga Oligarki Emas Hitam

Praktik pertambangan batu bara yang berlangsung secara masif, telah ikut memberikan dampak pada bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Berau.
GARISEPNA.CO - Berau - Musibah banjir bandang yang menerjang belasan kampung yang ada di 4 kecamatan di Kabupaten Berau pada akhir pekan kemarin, Minggu (16/5/2021), membuka mata banyak pihak. Praktik pertambangan batu bara yang berlangsung secara sporadis di wilayah itu, pelan tapi pasti tidak lagi sekadar membawa manfaat, melainkan juga ancaman yang nyata.
Bagaimana tidak, musibah banjir bandang itu tidak semata terjadi sebagai faktor alam. Curah hujan tinggi. Melainkan praktif penjarahan hutan yang masif telah mempercepat rusaknya lingkungan. Akibatnya, ancaman longsor hingga air bah kini ada di depan mata.
Musibah banjir yang terjadi di Berau ini diharapkan banyak pihak menjadi bahan evaluasi mendalam atas praktik dan eksploitasi emas hitam. Baik Pemerintah Berau dan Pemerintah Kaltim diminta tidak tutup mata. Apalagi berpangku tangan menyaksikan bencana banjir itu.
Banjir Terbesar Dalam Sekian Dekade Terakhir
Hujan deras melanda Kabupaten Berau selama sepekan lalu. Intesitas hujan tinggi membuat sejumlah daerah aliran sungai (DAS) meluap. Sungai Kelai dan Sungai Segah adalah diantaranya. Kondisi ini memicu terjadinya banjir yang merendam rumah warga. Hingga menyebabkan jalan kampung di Bena Baru terputus.
Dalam beberapa dekade terakhir, bencana banjir yang melanda 15 kampung dan 4 kecamatan itu, disebut-sebut menjadi yang terbesar di Kabupaten Berau. Merujuk data BPBD Berau, diketahui ada 2.308 KK terdampak banjir tersebut.
Meluapnya sungai pada dasarnya dianggap warga setempat sebagai banjir tahunan. Namun kondisi itu diduga diperparah dengan adanya kegiatan alih fungsi lahan secara besar-besaran di wilayah itu, utamanya di bentangan Kecamatan Sambaliung, menjadi biang kerok di balik bencana banjir bandang itu.
Masifnya Pertambangan Batu Bara
Merujuk data Greenpeace, setidaknya ada 94 konsesi tambang batu bara yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Berau. Terdiri dari 93 izin usaha pertambangan (IUP) dan 1 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Dari perizinan itu, terdapat 20 konsesi tambang batu bara yang berada di Sungai Segah dan Sungai Kelay. Dari jumlah itu, terdapat 7 konsesi tambang diantaranya berada di hulu Sungai Kelay.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menduga, kalau praktik penambangan di hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah yang dilakukan secara sporadis dan gila-gila menjadi pemicu serta biang kerok di balik bencana banjir yang acap melanda masyarakat Kabupaten Berau.
Perlahan Tapi Pasti Bencana Banjir Menghantui
Berdasarkan data BPBD Kabupaten Berau, bencana banjir yang terjadi pada Minggu, 16 Mei 2021, berdampak pada 15 kampung dan 4 kecamatan. Yakni Kecamatan Kelay, yakni di Long Beliu 39 KK, Lesan Dayak 6 KK, Muara Lesan 1 KK, serta Muara Merasa 11 KK.
Kemudian ada Kecamatan Sambaliung terdapat sekitar 1.532 KK, dengan rincian 152 KK di Long Lanuk, 150 KK di Pegat Bukur, 255 KK di Bena Baru, 183 KK di Inaran serta 792 KK di Tumbit Dayak serta di Kecamatan Teluk Bayur ada 719 KK.
Selain banjir, berdasarkan data Greenpeace, risiko longsor juga mendera sebagai imbas dari aktivitas tambang. Dari 94 izin tambang di Berau, diketahui, sudah ada sekitar 16 perusahaan yang melaksanakan pertambangan dengan daya rusak lingkungan yang cukup besar.
Contohnya saja, sepanjang 2020-2021, terdapat 11 lokasi tambang yang diduga ilegal beroperasi di Kabupaten Berau. Semua tambang ilegal itu terkonsentrasi di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Teluk Bayur, Tanjung Redep, dan Kecamatan Gunung Tabur.
Jebolnya Tanggul Tambang PT Rantaupanjang Utama Bhakti (RUB)
Selain faktor alam berupa curah hujan besar yang terjadi di Kabupaten Berau selama beberapa hari terakhir, yang menyebabkan meluapnya Sungai Kelay maupun Sungai Segah. Jebolnya tanggul tambang batu bara milik PT Rantaupanjang Utama Bhakti (RUB), disebut-sebut ikut memberikan imbas yang cukup besar atas bencana banjir, secara khusus bagi warga kampung Bena Baru, Kecamatan Sambaliung.
Hal itu bukan tanpa dasar dan alasan kuat. Jarak antara tepi lubang tambang dengan Sungai Kelay hanya berjarak kurang lebih 400 meter. PT RUB sendiri, disebut-sebut telah melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2012 tentang Indikator Rumah Lingkungan untuk Usaha dan atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara, yang mensyaratkan batas minimal jarak adalah 500 meter.
Siapa Aktor di Balik Aktivitas Tambang PT RUB?
Banyak yang bertanya-tanya siapa pemilik PT RUB dan bagaimana tambang emas hitam bercokol di Tanah Batiwakkal, sebutan Berau. Masih merujuk data Greenpeace, belakangan diketahui, dalam Struktur Pemegang Saham dan Pengurus PT RUB, terdapat nama Hanifah Husein yang menjabat sebagai Direktur Utama.
Lalu siapa Hanifah Husein. Ya, dia adalah istri dari Ferry Mursyidan Baldan yang merupakan mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang RI di periode pertama Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Istri Ferry Mursyidan Baldan juga terhubung dengan 2 perusahaan tambang lainnya, yakni PT Syahid Berau Bestari dan PT Syahid Indah Utama.
Berdasarkan data sebaran izin tambang, dari 93 izin tambang aktif yang ada di Kabupaten Berau. Terdapat 12 IUP dan 1 PKP2B (Berau Coal) yang beraktivitas di sekitar Sungai Kelay. Selain itu, terdapat 8 IUP dan 1 PKP2B beraktivitas di Sungai Segah. (Tim GP)